Selasa, 15 Februari 2011

Museum Bahari Berbenah Diri

SP/Sotyati

Koleksi perahu tradisional Papua yang dibuat dari kayu utuh di Museum Bahari.


Suara Pembaruan, Minggu, 12-7-2009
- Layaknya peristiwa ulang tahun, perayaan ulang tahun ke-32 Museum Bahari pada Selasa (7/7), juga ditandai dengan acara tiup lilin. Acara itu terasa istimewa karena tiup lilin itu dilakukan bersama Deputi Gubernur Bidang Kebudayaan dan Pariwisata DKI Jakarta Aurora Tambunan, Wakil Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta Tinia Budiati, Kepala UPT Museum Bahari Indonesia Gatut Dwihastoro, dan tujuh kepala museum sebelum masa kepemimpinan Gatut.

Perayaan ulang tahun itu juga ditandai dengan pemberian penghargaan kepada Gubernur ke-7 DKI Jakarta Ali Sadikin (meninggal 20 Mei 2008, Red), seminar kebaharian, lomba mengenal museum, dan pameran. Kegembiraan semakin terasa bagi staf Museum Bahari, karena gerainya keluar sebagai juara pertama dalam Batavia Art Festival 2009.

Tinia Budiati dalam sambutannya mengajak hadirin untuk lebih peduli museum. Hal itu selaras dengan program Departemen Kebudayaan dan Pariwisata yang mencanangkan tema wisata bahari untuk Tahun Kunjungan Wisata 2009. Museum Bahari, kata Tinia, menjadi bukti bahwa Indonesia tidak bisa dilepaskan dari kebaharian.

"Jangan lihat bangunan ini sebagai onggokan bangunan, tetapi jadikan tempat ini sebagai tempat belajar. Berkaitan dengan peringatan ulang tahun ini, seyogianya semangat kebaharian kita lestarikan," katanya.

Museum Bahari, sesuai fungsinya, menjadi tempat memelihara, merawat, dan menyajikan koleksi-koleksi yang berhubungan dengan kehidupan kebaharian dan kehidupan nelayan dari Sabang sampai Merauke. Lebih dari itu, museum juga seharusnya menjadi tempat rekreasi dan tempat menggali ilmu.

Gatut, dalam perbincangan terpisah, mengaku, bertekad menjawab tantangan yang disebut terakhir itu. Memang bukan perkara gampang, karena selama ini pemerintah masih melihat sebelah mata. Ia mencontohkan, Menara Syahbandar yang sudah dalam kondisi miring.

"Pengajuan anggaran konservasi dan renovasi yang diajukan, selalu mentok di tangan Dewan (DPRD, Red)," tuturnya.

Gatut menyimpan mimpi mengembangkan museum yang dipimpinnya menjadi seperti Museum Maritim di Malaka, Malaysia.

"Apalagi mereka dulu juga belajar dari sini," ia menambahkan.

Walau terkendali biaya, Gatut tidak pantang menyerah. Peningkatan kualitas sumber daya manusia yang menjadi prioritas kepeduliannya adalah keniscayaan. Paling penting, menurutnya, adalah mengubah pola pikir. Siapa pun yang bekerja di lingkungan museum, seharusnya terlebih dulu mencintai pekerjaannya. Tanpa perasaan seperti itu, akan sulit mengharapkan museum secara umum bisa maju.

"Yang penting survive dulu, melalui pembenahan dan penataan. Berikutnya, mengembangkan potensi museum untuk masyarakat, bukan sekadar melalui tampilan dan dokumentasi, namun juga membuka diri, misalnya tempat ini menjadikan wadah bagi komunitas pencinta bahari untuk belajar," Gatut menjelaskan.

Salah satu yang mulai dilakukan adalah menggandeng banyak kalangan untuk menjadi mitra museum, "Apa pun istilahnya, mitra atau sahabat, yang tentunya bukan sekadar menjadikan museum objek, tetapi benar-benar rekanan, ada timbal baliknya."


Gudang VOC


Museum Bahari Indonesia terletak di Jalan Pasar Ikan 1, di kawasan Pelabuhan Sunda Kelapa, di ujung utara Kota Jakarta. Gedung itu dibangun sebagai gudang penyimpanan rempah-rempah dan hasil bumi oleh Kongsi Dagang Belanda (VOC), secara bertahap sejak 1652 hingga 1759.

Pada 1976, kompleks bangunan yang terdiri atas dua bagian, sisi barat yang disebut Gudang Barat (Westzijdsch Pakhueizen) dan Gudang Timur (Oosjzijdsch Pakhuizen) itu, diserahkan kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Kompleks itu diresmikan sebagai Museum Bahari pada 7 Juli 1977.

Di museum itu dipamerkan berbagai benda peninggalan VOC, foto-foto, lukisan, alat navigasi, serta benda lainnya, yang berhubungan dengan kebaharian Indonesia. Di sela-sela itu, bisa disimak model atau replika perahu mayang, perahu lancang kuning, perahu pinisi, dan kapal modern.

Pada Bangunan C, yang terletak di belakang, bisa ditemui berbagai model perahu tradisional dalam ukuran asli. Paling menarik adalah perahu Papua, yang dibuat dari kayu utuh.

Di tempat itu juga disimpan Cadik Nusantara, perahu bercadik yang dipakai Pemuda Pelopor Effendy Soleman berlayar seorang diri menempuh jarak Jakarta - Brunei Darussalam pergi-pulang. Museum Bahari menggambarkan tradisi melaut nenek moyang bangsa Indonesia dan juga pentingnya laut bagi perekonomian Indonesia dari dulu hingga kini.

Bangunan antik gedung-gedungnya kini acap dipakai sebagai lokasi pemotretan prewedding dan lokasi pengambilan gambar bagi videoklip. Gatut juga berencana untuk memaksimalkan penggunaan Bangunan B untuk keperluan pertemuan-pertemuan.

Gatut menyambut gembira rencana penataan ruang di kawasan Sunda Kelapa dalam waktu dekat. Penataan tata ruang akan memudahkan akses bagi pengunjung. [SP/Sotyati]

1 komentar: